AgriVoltaic – Saat ini dunia sedang menghadapi ancaman perubahan iklim dan ledakan populasi manusia. Diprediksi emisi gas rumah kaca dunia akan meningkat 50% pada tahun 2050 jika tidak melakukan transisi ke energi bersih. Sedangkan populasi dunia juga meningkat dari 3 miliar jiwa dari 2020 ke tahun 2050. Keprihatinan ganda ini mendorong ilmuwan mencari solusi terbaik dan Agrivoltaic menjadi salah satu jawabannya.
Agrivoltaic adalah sebuah sistem simbiosis mutualisme antara pertanian dan pembangkit energi tenaga surya. Unik bukan? Seperti apa sih penerapan Agrivoltaics, dan bagaimana peran Agrivoltaics ini di dalam mendukung ekonomi hijau untuk masa depan bumi? yuk kita simak
Baca Juga
- Mengapa PLTU Batubara di Indonesia Akan Dipensiunkan?
- Skenario Transisi Energi Menuju Target Karbon Netral
- Jaringan Listrik Nirkabel Segera Terwujud
Apa itu Agrivoltaic
Agrivoltaic adalah kependekan dari agriculture dan photovoltaics. Fotovoltaik sendiri adalah teknologi pengubahan energi dari sinar matahari menjadi energi listrik secara langsung. Peralatan fotovoltaik berbentuk kumpulan sel surya yang disusun secara paralel dan disatukan menjadi modul surya.
Sehingga Agrivoltaic merupakan konsep yang memanfaatkan lahan pertanian atau peternakan untuk menempatkan panel surya sebagai sistem pembangkit energi listrik. Jadi petani bisa bercocok tanam dan peternak bisa menggembalakan ternaknya di bawah panel surya.
Pengaplikasian Agrivoltaic
Indonesia sangat diuntungkan oleh letak geografisnya yang berada di garis khatulistiwa untuk memanfaatkan sinar matahari sebagai pasokan energi. Untuk itu penggunaan panel surya dapat dijadikan solusi, bahkan untuk memberdayakan pertanian dan kesejahteraan petani.
Cara kerja panel surya sendiri bergantung dengan efek photovoltaic. Jadi panel surya akan menyerap sinar matahari yang kemudian akan menampung energi tersebut. Energi yang dihasilkan akan ditampung ke dalam sebuah baterai. Sehingga sistem dapat tetap berjalan saat hujan maupun malam hari. Untuk jenis panel surya yang bisa dipasang adalah Monocrystalline Silicon, Polycrystalline Silicon & Thin Film Solar Cell
Sedangkan untuk pola peletakan panel surya di lahan pertanian bisa memilih salah satu dari tiga pola yang umum digunakan di sistem Agrivoltaic yaitu:
- Panel surya ditempatkan diantara baris lahan kosong antar tanaman.
- Menggunakan struktur bangunan rumah kaca yang bagian atasnya ditambahin panel surya dengan jarak tertentu diantaranya.
- Membangun struktur panel surya di atas tanaman (stilt-mounted PV), juga dengan jarak tertentu diantaranya. Jarak ini penting dibuat agar sinar matahari dapat sampai pada tanaman.
Tantangan dalam Agrivoltaic dari segi pemasangan panel Surya
Penggunaan solar panel sebenarnya cukup ramai didiskusikan belakangan ini. Dipandang memiliki masa depan cerah namun masih ada ganjalan yang membuat penggunaannya belum luas yaitu harganya masih terhitung mahal.
Pertimbangan lainnya yaitu biaya pemasangan awal solar panel yang tinggi, meski sekarang harga panel surya terus turun untuk mengejar target EBT. Selain itu pemasangan solar panel bisa dikatakan cukup rumit untuk Sebagian orang sehingga memerlukan biasa tambahan untuk proses instalasinya
Tantangan dalam Agrivoltaic dari segi pertanian
Sistem Agrivoltaic memang berkonsep win-win solution tapi bukan berarti akan optimal bagi semua unsur yang terlibat. Karena sistem ini membuat petani harus bercocok tanam di bawah panel surya maka pilihan tanaman akan berbeda dengan pertanian biasa. Pertanian Agrivoltaic hanya akan terbatas pada jenis tanaman yang justru tumbuh baik di area bayangan atau tempat teduh. Ada beberapa jenis buah dan tanaman rendah (low-growing crop) seperti padi, jagung, teh, kopi, hingga tomat yang cocok untuk pertanian teduh.
Sebuah studi lapangan oleh Graham dan rekannya yang diterbitkan di Nature Scientific Reports juga menunjukkan penyerbukan alami yang dilakukan serangga di bawah panel surya adalah lebih sedikit. Begitupun dengan tanamannya yang kemungkinan telat mekar.
Kendala dalam dunia pertanian
Penelitian pada tanaman cabai, jalapeno, dan tomat ceri yang diposisikan di bawah susunan panel surya menemukan bahwa sistem agrivoltaic secara signifikan mempengaruhi tiga faktor yaitu suhu udara, sinar matahari langsung, dan pasokan air/pengairan.
Keteduhan yang diberikan panel photovoltaic menghasilkan suhu siang hari yang lebih dingin dan suhu malam hari yang lebih hangat daripada pertanian tradisional. Ada juga defisit tekanan uap yang lebih rendah dalam sistem agrivoltaics, yang berarti ada lebih banyak uap air di udara.
Greg Barron-Gafford, seorang profesor di Universitas Arizona dan penulis utama makalah di Nature Sustainability, mencatat dari penelitian itu bahwa bayangan panel surya mengurangi penggunaan air tetapi tetap mempertahankan tingkat produksi makanan. Sedangkan kelembaban tanah tetap sekitar 15% lebih tinggi.
Agrivoltaics juga baik untuk panel Surya
Selain manfaat bagi tanaman, para peneliti juga menemukan bahwa sistem agrivoltaics meningkatkan efisiensi produksi energi. Budidaya tanaman di bawah panel PV memungkinkan peneliti untuk mengurangi suhu panel. Panel-panel surya yang terlalu panas juga didinginkan oleh tanaman di bawahnya yang memancarkan air melalui proses transpirasi alami mereka layaknya cara kerja kabut.
Negara yang berhasil gunakan agrivoltaic
Sejauh ini negara Asia yang berhasil menggunakan agrivoltaic adalah Jepang , Korea Selatan, India, Malaysia, Vietnam dan China. Masih ada beberapa negara Eropa dan di Amerika yang sudah mengadaptasi sejak lama dan memperlihatkan hasil yang signifikan.
Bahkan baru-baru Italia berani memasukkan Agrivoltaic dalam ambisi mereka mencapai misi revolusi hijau nasional. Mereka hanya butuh 0,32% dari ladang pertanian Italia yang harus ditutupi oleh sistem fotovoltaik untuk mencapai 50% dari tujuan rencana energi nasional.
Potensinya di masa depan di Indonesia dan global
Meski gaung agrivoltaic belum populer di Indonesia namun sebenarnya sudah banyak negara yang melakukan ujicoba sejak lama. Mayoritas pengaplikasian agrivoltaic disokong oleh banyak pihak seperti universitas, lembaga non profit yang berfokus pada clean energy maupun perusahaan energi sehingga bisa berjalan optimal. Ada pula Jerman, Cina, India, dan Belanda yang mengembangkan PLTS model ini dengan skala besar juga menyambungkannya ke jaringan listrik utama di negara masing-masing. Itulah yang bisa dicontoh oleh Indonesia.
Meski Indonesia berlimpah sinar matahari namun belum ada upaya serius dari pemerintah untuk mengoptimalkan energi yang tidak akan habis ini untuk pengembangan pertanian. Padahal kata Elieser Tarigan, Kepala Penelitian Studi Energi Terbarukan di Universitas Surabaya, bila itu dikerjakan secara serius, pertanian yang memanfaatkan teknologi dan energi terbarukan akan mampu menjawab masalah terbatasnya lahan serta jumlah produksi yang dihasilkan.
Hanya dengan memanfaatkan 10-30 persen dari total luas lahan pertanian yang mencapai 210 ribu kilometer persegi, Indonesia sudah bisa memasang 3-9 miliar panel surya.
Saat ini, kapasitas PLTS listrik di Indonesia masih kecil, hanya 154 megawatt (MW). Torehan ini masih kalah dengan Singapura (377 MW). Optimisme Agrivoltaic dapat menyumbang energi bersih dalam skala global diamini oleh perusahaan listrik SolarCity California yang memperkirakan bahwa menutupi kurang dari 1% lahan pertanian dunia dengan panel surya konvensional dapat menghasilkan semua kebutuhan listrik dunia saat ini.