Waterlight, Lampu Senter Bertenaga Air Laut

Lampu senter  menjadi salah satu benda yang terkesan sepele namun sangat penting. Bagi yang mudah mendapatkan akses ke energi listrik, keberadaan lampu cenderung terlupakan namun tidak bagi yang hidup dalam kondisi kesulitan listrik. Tidak hanya area yang terpencil sehingga sulit dijangkau kabel listrik, kadang ada beberapa kondisi yang membuat manusia terkucil dari akses listrik misalnya saat di tengah hutan atau laut.

Kesulitan akses listrik bisa dialami siapapun di belahan bumi ini, baik penduduk asli maupun pendatang. Hal itu pula yang membuat peneliti terus mengulik berbagai kemungkinan membuat lampu yang dapat menyala dalam kondisi serba terbatas, salah satunya menciptakan lampu bertenaga air laut. Jadi baterai lampu tersebut adalah air asin. Seperti apakah itu? Yuk simak penjelasannya!

Baca juga:

Mengenal Lampu Senter dan Cara Kerjanya

Seperti kita ketahui, lampu pijar diciptakan oleh Thomas Alva Edison dan teknologi itulah yang kita gunakan hingga sekarang. Lampu pijar adalah sumber cahaya buatan yang dihasilkan dari penyaluran arus listrik melalui filamen yang kemudian memanas dan menghasilkan cahaya. Filamen panas tersebut diselubungi kaca untuk kontak langsung dengan udara sehingga tidak rusak teroksidasi.

Kini ada 3 jenis lampu yang paling umum digunakan yaitu: lampu LED, Bohlam, dan Neon. Semuanya membutuhkan aliran listrik agar bisa menyala, baik dari colokan maupun baterai. Lalu apakah bisa menciptakan lampu yang menyala tanpa perlu terhubung ke aliran listrik?

Ternyata bisa. Itulah yang kemudian digagas oleh sebuah startup energi terbarukan asal Kolombia bernama E-Dina. Mereka mendesain sebuah lampu yang hanya perlu ditenagai oleh air asin untuk menyala. Apakah lampu itu benar-benar berfungsi dengan baik?

Waterlight: Lampu senter baterai air laut

E-Dina berkolaborasi dengan agensi kreatif, Wunderman Thompson Kolombia, mendesain lampu senter yang dinamai WaterLight. Sesuai namanya, lampu ini ditenagai air namun harus asin. Kenapa harus air asin?

Karena WaterLight bekerja melalui ionisasi. Energi listrik untuk menyalakan lampu dihasilkan ketika elektrolit air asin bereaksi dengan magnesium di dalam perangkat. Dengan  setengah liter air asin dapat memberikan cahaya hingga 45 hari. Selain itu pembuatnya menyebutkan  WaterLight juga bisa dinyalakan menggunakan urin dalam situasi darurat.

Lampu tersebut didesain untuk digunakan untuk kondisi yang memiliki keterbatasan sehingga dibuat tahan air dan bahannya dapat didaur ulang. Secara umum, WaterLight memiliki masa pakai sekitar 5.600 jam yang setara dengan penggunaan 2-3 tahun. Cukup panjang untuk perangkat yang sepenuhnya  ditenagai energi terbarukan. Selain itu lampu senter ini juga mampu mendaur ulang energi lebih efisien dari lampu senter tenaga surya.

Lampu WaterLight ini memiliki body berupa wadah silinder yang terbuat dari kayu Urapán dengan sirkuit yang terhubung ke bagian bawah/alas dengan tutup berlubang di atasnya agar air dapat mengalir ke dalam perangkat. Sementara gas hidrogen yang tercipta selama proses ionisasi juga dapat keluar. Setelah partikel garam menguap, wadah lampu dapat dikosongkan dan diisi ulang. Sedangkan air bekas masih dapat digunakan kembali.

Selain usia pakai yang panjang, lampu senter ini juga lebih efisien karena hanya butuh beberapa detik untuk mengubah air laut menjadi energi listrik. Lampunya akan langsung menyala setelah beberapa detik diisi air laut. Tidak hanya  sebagai sumber cahaya portabel, WaterLight juga bisa digunakan mengisi daya perangkat kecil melalui port USB.

Dengan kemampuannya itu diharapkan WaterLight akan bisa bermanfaat untuk area terpencil di kawasan berdekatan dengan laut.

Memang pembuatan lampu senter bertenaga air asin ini bermula dari sebuah penelitian sebuah kawasan di tepi laut. Wundermann Thompson menjelaskan bahwa ide membuat Waterlight dari Wayuu, komunitas adat di semenanjung La Guajira di perbatasan Kolombia-Venezuela. Karena akses listrik di sana sangat terbatas akibat kontur alamnya yang berupa gurun dikelilingi oleh laut. Sehingga mereka memikirkan bagaimana caranya warga Wayuu bisa mendapatkan penerangan dari sumber daya yang ada di sekitar mereka yaitu air laut. Keberadaan penerangan ini akan membantu kehidupan sehari-hari, misalnya memancing di malam hari. Air laut juga selalu tersedia tanpa terpengaruh cuaca maupun musim bagi mereka sehingga lebih bisa diandalkan dibanding tenaga surya.

Magnesium Diprediksi Jadi Masa Depan Baterai

Penggunaan garam atau air asin memang terus dikulik para peneliti sebagai sumber energi alternatif. Garam merupakan kumpulan senyawa dengan kandungan terbesar Natrium Klorida (>80%) serta senyawa lainnya seperti magnesium klorida, magnesium sulfat, kalsium klorida dan lain-lain. Sehingga memungkinkan garam untuk dijadikan baterai alami.

Baterai magnesium memang dipandang sebagai calon baterai masa depan yang menjanjikan. Sebab  baterai magnesium memiliki sumber energi yang lebih berkelanjutan untuk dikembangkan. Biaya materialnya juga mungkin lebih murah daripada baterai lithium-ion yang canggih. Baru-baru ini peneliti dari University of Sydney sedang membuat baterai dari sodium-sulfur yang sejenis garam cair yang dapat diproses dari air laut. Baterainya berbiaya rendah dan lebih ramah lingkungan daripada opsi yang ada.

Desain baterai magnesium pun terus dikembangkan hingga sekarang agar dapat menyimpan listrik sebanyak lithium ion. Apalagi baterai magnesium juga digadang-gadan bisa menjadi penyimpanan energi skala besar  untuk kendaraan listrik.

Potensi WaterLight di masa mendatang

Saat ini WaterLight masih menjadi proyek prototipe yang membutuhkan dana besar untuk pembuatan dan distribusi. Desainernya mengatakan bahwa mereka akan fokus menyediakannya melalui lembaga sosial, NGO dan pemerintah di seluruh dunia yang membutuhkan. Mereka berharap WaterLight bisa menjangkau kawasan seperti di Suriah, Somalia dan Seirra Leone yang tidak terjangkau power grid tapi memiliki akses ke tepi laut.

Penemuan ini diharapkan bisa membantu mengatasi masalah dunia yang menurut data WHO terdapat 840 juta orang di seluruh dunia yang tidak memiliki akses ke listrik.

Kesimpulan

Saat ini berbagai penelitian terus dilakukan agar manusia tidak terus bergantung pada material yang merusak lingkungan, baik untuk baterai maupun sumber energi listrik.

Banyak baterai dibuat dengan logam tanah jarang (rare earth) seperti litium, grafit, dan kobalt. Apalagi lithium dan tanah jarang diprediksi akan menjadi material yang lebih berharga daripada minyak dan gas di masa mendatang.

Padahal untuk mendapatkan logam tanah jarang juga merusak lingkungan. Misalnya ekstraksi litium saja dapat mengakibatkan kekurangan air, hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya fungsi ekosistem, dan degradasi tanah. Di sinilah baterai garam laut dan perangkat yang menggunakannya bisa menjadi alternatif.

SOURCE:

https://interestingengineering.com/innovation/a-startup-just-created-a-urine-powered-lantern

https://blog.advantere.org/resolutionary-stories/waterlight-the-lamp-powered-by-salt-water/

https://www.greeners.co/ide-inovasi/

Leave a Comment

Close
Maximize
Page:
...
/
0
Please Wait
...
Second
Code: