Sumber Energi – Pertumbuhan ekonomi China yang luar biasa selama empat dekade terakhir telah mengangkat ratusan juta orang keluar dari kemiskinan, mengubah negara itu menjadi pemimpin di banyak industri tetapi juga penghasil karbon terbesar di dunia, menyumbang sepertiga dari emisi karbon dioksida (CO2) global.
Begitu parahnya tingkat polusi udara di sana, 22 dari 50 kota paling tercemar di dunia ada di Tiongkok. Menurut studi jurnal medis The Lancet, diperkirakan 1,24 juta orang telah meninggal akibat paparan polusi udara pada tahun 2017. Polusi udara berbahaya ini tak hanya mengancam 1,5 milyar warga mereka tapi juga kesehatan global dan ekonomi dunia.
Dengan tingkat polusi sedemikian tinggi, Tiongkok juga serius berpartisipasi dalam menahan laju perubahan iklim dunia. Presiden Xi Jinping mengemukakan komitmen negaranya untuk mencapai nol emisi karbon pada tahun 2060. Jika dilihat dari konsumsi energi dari batu bara yang sangat besar, Tiongkok tetap percaya diri bahwa 2025 nanti mereka akan mendapatkan suplai energi dari sumber energi terbarukan hingga 33% dari kebutuhan nasional.
Bagaimana strategi Tiongkok untuk merealisasikan target ambisius tersebut Ketika masih sangat bergantung dengan batu bara?
baca juga
- Energi Transisi dengan Hidrogen Hijau
- AgriVoltaic – Pertanian dan Panel Surya Berbasis Teknologi Terbarukan
- Skenario Transisi Energi Menuju Target Karbon Netral
Konsumsi & Sumber energi di Tiongkok
Industri kelistrikan Tiongkok adalah produsen listrik terbesar di dunia namun tingkat konsumsinya juga tak kalah besar. Pada tahun 2019, Tiongkok tercatat menghasilkan lebih banyak listrik daripada gabungan Amerika Serikat, India, dan Rusia. Sebagian besar listrik di sana pun masih berasal dari batu bara, yang menyumbang 65% dari bauran pembangkit listrik. Ya, sektor energi masih menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca mereka.
Selama beberapa dekade, Tiongkok terus meningkatkan konsumsi batu baranya hingga pada 2011 jumlah setara total gabungan seluruh dunia. Sejak itu mereka berusaha lepas dari ketergantungan pada batu bara namun hingga kini masih merupakan sumber energi terbesar. Apalagi konsumsi energi listrik diprediksi akan terus meningkat meski sempat turun selama pandemi.
Strategi dan fokus Tiongkok dalam optimalisasi penggunaan Sumber Energi Bersih
Meski begitu mereka terus berupaya meminimalisir dengan memfasilitasi pemanfaatan batubara yang aman, cerdas, dan ramah lingkungan. Sejak 2016 hingga 2019, China berhasil memangkas lebih dari 900 juta ton kapasitas produksi batubara usang per tahun.
Cara yang dilakukan pemerintah Tiongkok dengan menerapkan rencana per 5 tahun di sektor energi terbarukan. Rencana Lima Tahun Ketenagalistrikan tersebut sudah memasuki yang ke-13 dengan periode 2016-2020 bertujuan untuk meningkatkan bagian bahan bakar non-fosil. Rancangan itu terus diperbarui hingga bisa mencapai angka 33% suplai energi nasional pada tahun 2025. Prioritasnya:
- Pengembangan energi non-fosil
- Mengganti energi tinggi karbon dengan energi rendah karbon
- Mengganti energi fosil dengan energi terbarukan.
Bagaimana cara Tiongkok merealisasikan strategi tersebut sehingga sumber energi terbarukannya paling maju di dunia?
Tiongkok juga memiliki mega proyek di sektor EBT yang disokong penuh oleh pemerintah hingga ke daerah pedesaan. Mereka berambisi memenuhi pasokan dari renewable energy bisa mencapai 3,3 trilliun kilowatt dengan pertumbuhan PLTS dan tenaga angin dua kali lipat.
Alhasil Tiongkok mencatat pertumbuhan yang stabil pada 2021 untuk kapasitas energinya yang berasal dari EBT. Menurut data Administrasi Energi Nasional, EBT mereka sudah mencapai kapasitas 1,06 miliar kilowatt atau menyumbang 44,8 persen dari total pembangkit listrik yang terpasang.
Salah satu cara yang dilakukan Tiongkok adalah memanfaatkan wilayah negaranya yang luas dengan beraneka ragam kontur. Terkenal dengan pegunungannya, Tiongkok sebenarnya memiliki area gurun yang luas dan terpencil, cocok untuk proyek pembangkit EBT.
((SOLAR POWER))
Tercatat ada 5 gurun di Tiongkok, salah satunya gurun Gobi yang dipersiapkan menjadi rumah bagi mega proyek pembangkit tenaga angin dan surya berkapasitas 450 gigawatt pada 2030. Sedangkan yang sudah berjalan sejak 2017 adalah solar wind farm di Gansu, Xinjiang.
Sejauh ini Tiongkok telah memasang 306 GW tenaga surya dan 328 GW tenaga angin pada akhir tahun 2021. Tak mengherankan jika Tiongkok menjadi pasar terbesar di dunia untuk fotovoltaik dan energi panas matahari yang banyak disumbang dari wilayah gurun. Dilansir dari media Xinhua, ladang angin dan stasiun fotovoltaik di Tiongkok sama-sama melampaui kapasitas 300 juta kilowatt.
((HYDRO POWER))
Menurut Asosiasi Tenaga Air Internasional, Tiongkok menjadi produsen pembangkit listrik tenaga air terbesar di dunia pada tahun 2021. Mereka memang memiliki banyak bendungan yang dijadikan PLTA skala besar.
Tiongkok memulai mega proyek PLTA dengan membangun Bendungan Tiga Ngarai yang menghasilkan kapasitas energi 22,500 MW dan kini sudah memiliki Bendungan Baihetan. Fasilitas ini menghasilkan listrik 16.000 MW dari 16 turbinnya.
Tidak mengherankan jika pada tahun 2018 saja, PLTA dalam negeri mereka menghasilkan 1.232 TWh daya yang menyumbang 18% dari total pembangkit listrik nasional.
((GEOTHERMAL)
Saat ini, kapasitas terpasang kumulatif pembangkit listrik panas bumi China adalah 27,28 MW, peringkat ke-18 di dunia. Meski bukan angka yang fantastis namun setidaknya 40%–60% listrik kota di Lhasa, Tibet, disumbang oleh pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Tiongkok juga semakin serius mengembangkan proyek geothermal dengan menggandeng Islandia. Hasilnya, sekarang ada 2,2 juta penduduk Tiongkok yang memanaskan rumah mereka dengan energi panas bumi berkat kolaborasi dengan Islandia. Pemanfaatan panas bumi ini diprediksi akan mengurangi emisi karbon sebesar 3,5 juta ton.
((BIO MASS))
Tak seperti pembangkit EBT lainnya, penggunaan bio massa tidak sebesar hydro plant namun memiliki peran signifikan, khususnya di daerah pedesaan.
Tiap tahunnya Tiongkok menghasilkan 900 juta ton bio massa dari pertanian dan kehutanan yang kekuatan dayanya setara 400 juta ton batu bara. Kapasitas tersebut lebih besar lagi jika ditambah dengan limbah dari perkotaan dan pedesaan.
Kini targetnya bio massa akan menyumbang 8% energi nasional pada 2030, namun mendapat tantangan berat yaitu kalah efektif dibanding sumber daya EBT lainnya. Meski begitu pemerintah berencana membuat kampanye di pedesaan untuk memprioritaskan biomassa sebagai pemanas/heater.
Kesimpulan
Keberhasilan proyek EBT Tiongkok tidaklah didapatkan dalam sekejab, dibutuhkan proyek skala besar dengan sokongan pemerintah hingga ke level daerah. Tak heran mereka berani memprediksi total konsumsi EBT akan mencapai 1 miliar ton atau setara batu bara standar (TCE) pada 2025 mendatang dan mampu mencukupinya secara mandiri.
Pemerintah Cina memang menjadikan EBT sebagai prioritas nasional karena dianggap menjadi solusi masalah polusi udara. Parahnya polusi udara telah banyak merugikan negara. Tak hanya kematian warganya, polusi udara pada tahun 2012 merugikan China hingga $535 miliar, atau 6,5 persen dari produk domestik brutonya, karena hilangnya produktivitas tenaga kerja.
Semoga Indonesia tidak perlu menunggu itu terjadi untuk segera memajukan proyek EBT.
Lebih dari setahun yang lalu, China.org.cn, China menyatakan kepada dunia bahwa mereka akan berusaha untuk mencapai puncak emisi karbon dioksidanya sebelum tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon sebelum tahun 2060. Di balik komitmen serius ini, komitmen ekonomi dan sosial yang luas dan mendalam transformasi telah terbentuk.
Berbagai tingkat pemerintahan mengadopsi kebijakan rendah karbon yang disesuaikan dengan kondisi lokal, dan industri sedang menjajaki jalur pembangunan hijau mereka sendiri, melakukan upaya bersama untuk mencapai tujuan yang ambisius. Ini termasuk pemanasan hijau, tenaga hijau, dan logistik hijau.
Untuk pemanasan hijau, panas bumi memainkan peran yang sangat penting, seperti yang disoroti oleh contoh Xi’an, ibu kota Provinsi Shaanxi di Tiongkok barat laut. Itu adalah hari pertengahan musim dingin yang membeku di Xi’an, karena Zhao Haiyan, 45, hanya mengenakan T-shirt dan celana pendek di rumahnya di Lintong, distrik pinggiran kota Xi’an karena suhu di dalam ruangan mencapai 26 derajat Celcius.