Pembangkit Listrik Virtual – Apakah kalian masih ingat pemadaman listrik serentak (blackout) pada Agustus 2019 silam? Tercatat berbagai macam pelayanan publik lumpuh total hingga berjam-jam, dimulai dari perjalanan KRL, Commuter Line dan MRT tidak dapat beroperasi, gangguan jaringan telekomunikasi terjadi, lampu lalu lintas mati, bahkan terjadi sejumlah kebakaran di beberapa titik.
Nyatanya, kendala ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Bahkan berlaku di luar negeri, seperti California, Amerika Serikat. Dari kejadian seperti inilah, sejumlah ahli menyimpulkan perlu adanya inovasi baru dalam sistem pengelolaan listrik. Awalnya, konsep pengelolan listrik tersentralisasi umum digunakan hingga sekarang. Ciri-cirinya, menekankan pada penggunaan pembangkit listrik terpusat dan berskala besar. Akibatnya, banyak daerah terpencil, pun seringkali kesulitan mendapatkan pasokan listrik yang mencukupi. Sekalipun sampai, sudah mengalami penyusutan yang tidak bisa dihindari.
Menjawab kendala itu, maka dikenalah ‘model distribusi listrik secara desentralisasi;. Berkebalikan dengan sentralisasi, distribusi terdesentralisasi memiliki sifat tersebar dan berskala kecil. Sehingga bisa menjangkau daerah-daerah terpencil dan menekan penyusutan distribusi listrik. Sebenarnya, baik sistem tersentralisasi maupun desentralisasi memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Sebagai informasi, sistem listrik tersentraliasi masih memanfaatkan sumber energi berbahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Sehingga berdampak negatif pada lingkungan, dari polusi udara hingga meningkatkan emisi gas rumah kaca. Berbeda dengan yang desentralisasi, justru lebih memanfaatkan sumber energi baru terbarukan (EBT) seperti biomassa, surya, air, angin (bayu) dan lainnya. Karena karakternya yang ramah lingkungan, sumber energi tersebut dikenal pula sebagai ‘energi hijau’.
Meski begitu, pemanfaatan sumber energi EBT ini belum bisa terealisasikan dengan signifikan. Karena sifatnya yang mengikuti alam, sehingga daya yang bisa dihasilkan juga tidak menentu (internmiten). Seperti, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), tergantung pada matahari dan tidak bisa menyuplai terus-menerus selama 24 jam. Lalu, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) mau tidak mau mengandalkan angin yang kecepatannya sangat fluktuatif. Sehingga belum bisa bersaing dengan sumber energi fosil, yang bisa diatur jumlah bahan bakarnya, dan bisa menghasilkan listrik yang konstan.
Namun, bukan berarti pemanfaatan EBT ditinggalkan. Justru pendekatan ini perlu dikembangkan sebab cocok sekali dengan potensi alam yang dimiliki oleh Indonesia. Salah satu langkah yang bisa dilakukan ialah merekayasa manajemen supply dan demand untuk sistem kelistrikan dengan memanfaatkan suatu teknologi, yang disebut pembangkit listrik visual atau virtual power plant (VPP).
Fadli, Maharani, dan Liemanto (2018) memiliki definisi tersendiri tentang virtual power plant (VPP) yaitu “teknologi smart grid adalah sistem yang mengintegrasikan beberapa jenis sumber daya untuk dioperasikan pada satu sistem yang mana mampu mengendalikan dan mengelola arus listrik sesuai kebutuhan dayanya”. Maksudnya, listrik yang dihasilkan dari EBT digabungkan dengan yang lainnya. Sehingga dapat saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Sebagai contoh:
- PLTBm (biomassa) mampu menghasilkan energi yang relatif konstan lantaran suplainya dapat diatur,
- PLTS (surya) melengkapi PLTBm saat siang hari,
- PLTB (bayu/angin) yang fluktuatit, akan bekerja secara optimal ketika angin bergerak dengan intensitas yang tinggi, seperti pada musim pancaroba.
- PLTMH (mikrohidro) akan bekerja dengan baik ketika musim penghujan,
Sejatinya, konsep seperti ini sudah terpikirkan sejak akhir 1990-an. Hanya saja, kala itu terkendala oleh sarana teknologi komputer dan jaringan. Namun sejak tahun 2010, teori itu akhirnya mulai direalisasikan dengan kemajuan teknologi kala itu.
Apalagi, dengan perkembangan Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (artifical inteligence/AI), cita-cita mewujudkan VPP menjadi kenyataan. Sehingga dengan menyempernakan VPP, energi listrik yang terkumpul dari berbagai pembangkit akan diatur secara otomatis sehingga sesuai antara demand dan suplly-nya, yang akhirnya disalurkan ke para konsumen. Sudah banyak negara-negara maju yang mengembangkan teknologi VPP ini, seperti Jerman, Amerika Serikat, Australia dan lain sebagainya.
Sumber:
- https://www.greeners.co/ide-inovasi/ribuan-apartemen-california-terapkan-pembangkit-listrik-virtual/
- http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F5265/Mengakhiri-Rep.htm
- https://www.next-kraftwerke.com/knowledge/what-is-a-virtual-power-plant
- https://coaction.id/mengenal-virtual-power-plant-energi-terbarukan-4-0/
- Fadli, M., Maharani, D. and Liemanto, A. (2018). The Future of Sustaining Energy Using Virtual Power Plant: Challenges and Opportunities for More Efficiently Distributed Energy Resources in Indonesia. In: International Conference on Energy and Mining Law.